SELAMAT DATANG DI BLOG ARDI SETIA

Kamis, 12 September 2013

Pemb. Apresiasi Puisi: Unsur-unsur/Komponen Pembelajaran Apresiasi Puisi

III. UNSUR-UNSUR/KOMPONEN PEMBL. APRESIASI PUISI
èWujud karya fiksi, dalam hal ini Puisi adalah TOTALITAS atau SISTEM dari sebuah bangunan strata norma (norma-norma puisi). Wujud FORMAL bangunan strata itu tidak lain adalah BAHASA, karena sebelum bahasa itu dituturkan atau ditulis, jelas kita belum bisa menyatakan sebagai karya fiksi atau karya yang lainnya. Artinya,  bahasa inilah yang menyebabkan sebuah karya (puisi) menjadi berwujud.
èDengan demikian, sebagai sebuah totalitas atau sistem, bahasa mempunyai unsur-unsur atau bagian-bagian atau strata, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Menurut Roman Ingarden (Rene Wellek, 1968:151) strata norma puisi terdiri atas:
  1. strata bunyi. Bila seseorang sedang membaca, bertutur, berbicara (berpuisi), maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi. Rangkaian bunyi inilah dasar dari, 
  2. stara makna. Bunyi-bunyi yang berujud fonem, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan bait, serta keseluruhan puisi tersebut jelas memiliki makna, yang memunculkan, 
  3. strata objek yang diungkapkan penyairnya berupa latar, pelaku, dan secara implisit mengungkapkan, 
  4. strata ‘dunia’ penyair yang berupa visi atau sudut pandang dari ‘dunia’ si penyair, serta terimplisitkan sifat-sifat sublim, tragis, dramatis, suci, atau yang bersifat,
  5. strata metafisis. Artinya, sesuatu yang menjadikan atau menyebabkan pembaca/pendengar (puisi) berkontemplasi atau merenung/menghayati.
Untuk lebih menjelaskan strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959:44) dan Darmanto Jt (1980:40) sebagai berikut.

                                     CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar,
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan rapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

                                                        ====== 
                                ISTERI
--isteri mesrti digemateni
   Ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita


Ia sisishan kita,
                   kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita,
                    kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita,
                    kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita,
                     kalau kita
Ia sakti kita!
                 Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
             Seperti lidah ia di mulut kita
                                                           tak terasa
             Seperti jantung ia di dada kita
                                                              tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi waspadalah!
Tetap, madep, manteb
Gemati, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.

Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.

Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang demikianlah suratannya!
--Towikromo.
                                              ====
Orkestrasi bunyi: efoni dan kakofoni
Kombinasi vokal dan konsonan tertentu: asonansi dan aliterasi
Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambing rasa.
                                  ====   

IV. STRUKTUR FISIK DAN STRUKTUR BATIN PUISI

Pembahasan unsur-unsur atau strata puisi di bab III , maka disimpulkan oleh para pakar sastra (termasuk oleh Agus Wis), bahwa Bahasa sebagai strata norma puisi memiliki dua (2) unsur utama yakni; a) struktur fisik/metode puisi, dan b) struktur batin/hakikat puisi.

A. Struktur fisik bahasa puisi, atau juga biasa  disebut dengan  metode puisi. Struktur fisik bahasa puisi berhubungan dengan sintaksis, dengan demikian dalam struktur bahasa puisi akan terjadi penyimpangan-penyimpangan bahasa dalam struktur sintaksis puisi.

Struktur fisik bahasa puisi atau metode puisi yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar puisi, terdiri atas; diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi.  (WIS)

STRUKTUR FISIK PUISI
SEBAGAI METODE PENGUCAPAN PUISI

Struktur kebahasaan (struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi. Medium pengucapan maksud yang hendak disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas. Di depan telah dinyatakan bahwa tipografi puisi berbeda dari prosa. Oleh sebab itu pemahaman terhadap puisi juga didasarkan atas makna tipografinya itu.
Bahasa puisi tidak sama dengan bahasa prosa. Sering terjadi penyimpangan  penggunaan bahasa. Jika di data , banyak penyimpangan bahasa yang dilakukan oleh para penyair. Seperti dalam puisi di atas, perempuan-perempuan yang gigih dan ulet disebut perkasa. Seharusnya perempuan tidak layak disebut perkasa. Yang dibawa perempuan tidak hanya bakul, namun mungkin karung, keranjang, atau bahkan barang dagangan yang tidak membutuhkan tempat membawa. Namun dalam puisi tersebut dinyatakan bahwa perempuan-perempuan itu membawa bakul. Penggunaan kata-kata dengan makna kias dan makna lambang merupakan contoh dari penyimpangan bahasa.
Struktur bahasa puisi juga berhubungan dengan sintaktis. Oleh sebab itu, penimpangan sintaktis akan dibahas dalam bab ini. Demikian pula apa yang disebut metode puisi akan diuraikan satu demi satu sebagai langkah pengudaran unsur-unsur puisi.

A.     PENYIMPANGAN BAHASA
Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu angkatan atau periode sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkat­an dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menen­tangnya (Teeuw, 1983:4). Geoffrey Leech menyebutkan adanya 9 jenis pe­nyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek Penyimpangan yang dominan pada jaman tertentu. Ke-9 pe­nyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai puisi da­lam berbagai kurun waktu (Leech: 1976, 42-52).
1.      Penyimpangan leksikal Kata-kata yang digunakan dalam puisi me­nyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari. Pe­nyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata­-kata itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu, keder, ngloyor, leluka, sakal, ngiau, barwah, marwah, dan sebagainya.
2.      Penyimpangan semantis Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatu­an makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata "sungai" bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan penambang akan menyebut­nya sebagai sumber penghidupan. Kata "bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar.
3.      Penyimpangan fonologis Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku", kata “perih" diganti dengan “peri". Dalam puisi lamanya, kata "menggigil" di­ganti "menggigir"; kata "melayang" diganti dengan “melayah”, dan seba­gainya.
4.      Penyimpangan morfologis Penyair sering melanggar kaidah morfolo­gis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah: lelawa, mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis.
5.      Penyimpangan sintaksis Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Da­pat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kali­mat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat terse­but.
6.      Penggunaan dialek. Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa Indonesia dirasa belum mewakili ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Para penyair mutakhir. ba­nyak menggunakan dialek. Misalnya, Darmanto Jt. menggunakan istilah: aduh laelae, tobil, nyemar, madep, manteb, gemati, nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi Ag. menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhap asor, biyung, wok kethekur, dan sebagainya.
7.      Penggunaan register Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya di kalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap dise­but lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang, simbok, den mas, ekaristi, sungkem, bihten, dan sebagainya. Semua itu me­rupakan contoh register.
8.      Penyimpangan historis Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari­-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis. Misal­nya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk, lilih, bahana, dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang "dakik-dakik" seperti dalam la­rik-larik lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut.
9.      Penyimpangan grafologis Dalam menulis kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh efek estetik. Penyimpangan sistem tulisan tersebut disebut penyimpangan grafo­logis.


B.     SINTAKSIS DALAM PUISI

Selengkapnya Download FILE di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Printfriendly