III. UNSUR-UNSUR/KOMPONEN
PEMBL. APRESIASI PUISI
èWujud
karya fiksi, dalam hal ini Puisi adalah TOTALITAS atau SISTEM dari sebuah
bangunan strata norma (norma-norma puisi). Wujud FORMAL bangunan strata itu
tidak lain adalah BAHASA, karena sebelum bahasa itu dituturkan atau ditulis,
jelas kita belum bisa menyatakan sebagai karya fiksi atau karya yang lainnya.
Artinya, bahasa inilah yang menyebabkan
sebuah karya (puisi) menjadi berwujud.
èDengan
demikian, sebagai sebuah totalitas atau sistem, bahasa mempunyai unsur-unsur
atau bagian-bagian atau strata, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Menurut Roman Ingarden (Rene Wellek, 1968:151) strata norma puisi terdiri atas:
- strata bunyi. Bila seseorang sedang membaca, bertutur, berbicara (berpuisi), maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi. Rangkaian bunyi inilah dasar dari,
- stara makna. Bunyi-bunyi yang berujud fonem, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan bait, serta keseluruhan puisi tersebut jelas memiliki makna, yang memunculkan,
- strata objek yang diungkapkan penyairnya berupa latar, pelaku, dan secara implisit mengungkapkan,
- strata ‘dunia’ penyair yang berupa visi atau sudut pandang dari ‘dunia’ si penyair, serta terimplisitkan sifat-sifat sublim, tragis, dramatis, suci, atau yang bersifat,
- strata metafisis. Artinya, sesuatu yang menjadikan atau menyebabkan pembaca/pendengar (puisi) berkontemplasi atau merenung/menghayati.
Untuk lebih menjelaskan
strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959:44) dan Darmanto Jt
(1980:40) sebagai berikut.
CINTAKU
JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang
iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan
memancar,
di leher kukalungkan
ole-ole buat si pacar,
angin membantu, laut
terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai
padanya.
Di air yang terang, di
angin mendayu,
di perasaan penghabisan
segala melaju
Ajal bertakhta, sambil
berkata:
“Tujukan perahu ke
pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah
bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama
‘kan rapuh!
Mengapa Ajal memanggil
dulu
Sebelum sempat berpeluk
dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia
mati iseng sendiri.
======
ISTERI
--isteri
mesrti digemateni
Ia sumber berkah dan rejeki.
(Towikromo,
Tambran, Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting
untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
mengirim rantang ke
sawah
dan ngeroki kita kalau
kita masuk angin
Ya. Isteri sangat
penting untuk kita
Ia
sisishan kita,
kalau kita pergi kondangan
Ia
tetimbangan kita,
kalau kita mau jual
palawija
Ia
teman belakang kita,
kalau kita lapar dan mau
makan
Ia
sigaraning nyawa kita,
kalau kita
Ia
sakti kita!
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting
dengan
kerbau, luku, sawah,
dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul malam
hari dan tak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih
menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
Sukur: tahu terimakasih
dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu
memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-
sungguh seperti kita
memelihara ayam, itik, kambing atau
jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat
penting bagi kita justru ketika kita mulai
meluakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat
penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya.
Jadi
waspadalah!
Tetap,
madep, manteb
Gemati,
nastiti, ngati-ati
Supaya
kita mandiri—perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak
tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
Seperti
Subadra bagi Arjuna
makin
jelita ia di antara maru-marunya:
Seperti
Arimbi bagi Bima
jadilah
ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka;
Seperti
Sawitri bagi Setyawan
Ia
memelihara nyawa kita dari malapetaka.
Ah.Ah.Ah
Alangkah pentingnya
isteri ketika kita mulai melupakannya.
Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati
Dewi Sri
Sumber hidupmu.
Makanlah
Karena memang
demikianlah suratannya!
--Towikromo.
====
Orkestrasi bunyi: efoni
dan kakofoni
Kombinasi vokal dan konsonan
tertentu: asonansi dan aliterasi
Simbol bunyi:
onomatope, kiasan suara, lambing rasa.
====
IV.
STRUKTUR FISIK DAN STRUKTUR BATIN PUISI
Pembahasan unsur-unsur
atau strata puisi di bab III , maka disimpulkan oleh para pakar sastra
(termasuk oleh Agus Wis), bahwa Bahasa sebagai strata norma puisi memiliki dua
(2) unsur utama yakni; a) struktur fisik/metode puisi, dan b) struktur
batin/hakikat puisi.
A. Struktur fisik bahasa
puisi, atau juga biasa disebut dengan metode puisi. Struktur fisik bahasa puisi
berhubungan dengan sintaksis, dengan demikian dalam struktur bahasa puisi akan
terjadi penyimpangan-penyimpangan
bahasa dalam struktur sintaksis puisi.
Struktur fisik bahasa puisi
atau metode puisi yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar puisi,
terdiri atas; diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas),
versifikasi, dan tata wajah puisi. (WIS)
STRUKTUR
FISIK PUISI
SEBAGAI
METODE PENGUCAPAN PUISI
Struktur kebahasaan
(struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi. Medium pengucapan maksud yang
hendak disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas. Di depan
telah dinyatakan bahwa tipografi puisi berbeda dari prosa. Oleh sebab itu
pemahaman terhadap puisi juga didasarkan atas makna tipografinya itu.
Bahasa puisi
tidak sama dengan bahasa prosa. Sering terjadi penyimpangan penggunaan bahasa. Jika di data , banyak
penyimpangan bahasa yang dilakukan oleh para penyair. Seperti dalam puisi di
atas, perempuan-perempuan yang gigih dan ulet disebut perkasa. Seharusnya
perempuan tidak layak disebut perkasa. Yang dibawa perempuan tidak hanya bakul,
namun mungkin karung, keranjang, atau bahkan barang dagangan yang tidak
membutuhkan tempat membawa. Namun dalam puisi tersebut dinyatakan bahwa
perempuan-perempuan itu membawa bakul. Penggunaan kata-kata dengan makna kias
dan makna lambang merupakan contoh dari penyimpangan bahasa.
Struktur bahasa
puisi juga berhubungan dengan sintaktis. Oleh sebab itu, penimpangan sintaktis
akan dibahas dalam bab ini. Demikian pula apa yang disebut metode puisi akan
diuraikan satu demi satu sebagai langkah pengudaran unsur-unsur puisi.
A.
PENYIMPANGAN BAHASA
Penyimpangan
bahasa dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu angkatan atau periode sastra.
Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra
umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi
sastra sambil memakai dan menentangnya (Teeuw, 1983:4). Geoffrey Leech
menyebutkan adanya 9 jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam
puisi. Tidak setiap puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya
memiliki salah satu atau beberapa aspek Penyimpangan yang dominan pada jaman
tertentu. Ke-9 penyimpangan bahasa itu merupakan kumpulan data dari berbagai
puisi dalam berbagai kurun waktu (Leech: 1976, 42-52).
1.
Penyimpangan
leksikal Kata-kata yang
digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam
hidup sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya
atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari,
pepintu, keder, ngloyor, leluka, sakal, ngiau, barwah, marwah, dan sebagainya.
2.
Penyimpangan
semantis Makna dalam puisi
tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna
kata-kata tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak
ada kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata
"sungai" bagi penyair yang
berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para
penangkap ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata
"bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam
puisi Toto Sudarto Bachtiar.
3.
Penyimpangan
fonologis Untuk kepentingan
rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar
"Aku", kata “perih"
diganti dengan “peri". Dalam
puisi lamanya, kata "menggigil"
diganti "menggigir"; kata
"melayang" diganti dengan “melayah”, dan sebagainya.
4.
Penyimpangan
morfologis Penyair sering melanggar
kaidah morfologis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah:
lelawa, mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya,
sebagai contoh penyimpangan morfologis.
5.
Penyimpangan
sintaksis Di depan sudah
dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun
larik-larik. Dapat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf
besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu.
Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat
dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang
dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6.
Penggunaan
dialek. Penyair ingin
mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa
Indonesia dirasa belum mewakili ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan
kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Para
penyair mutakhir. banyak menggunakan dialek. Misalnya, Darmanto Jt.
menggunakan istilah: aduh laelae, tobil, nyemar, madep, manteb, gemati,
nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi Ag. menggunakan dialek Jawa: banget,
kepradah, andhap asor, biyung, wok kethekur, dan sebagainya.
7.
Penggunaan
register Register adalah ragam
bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register
juga disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui
secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah.
Misalnya di kalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap
disebut lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang,
simbok, den mas, ekaristi, sungkem, bihten, dan sebagainya. Semua itu merupakan
contoh register.
8.
Penyimpangan
historis Penyimpangan historis
berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam
kehidupan sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai
estetis. Misalnya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk,
lilih, bahana, dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang
"dakik-dakik" seperti dalam larik-larik lagu Guruh Sukarno, dalam
puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut.
9.
Penyimpangan
grafologis Dalam menulis
kata-kata, kalimat, larik dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan
dari kaidah bahasa yang biasa berlaku. Huruf besar dan tanda-tanda baca tidak
dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal itu digunakan penyair untuk memperoleh
efek estetik. Penyimpangan sistem tulisan tersebut disebut penyimpangan grafologis.
B.
SINTAKSIS DALAM PUISI
Selengkapnya Download FILE di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar