Guru Wajib Didik Siswa Perangi Hoaks
Antihoax Sang Pendidik
Hoax (Hoaks dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti berita bohong. Berita
hoaks adalah berita bohong yang dapat menyebabkan ketidakpastian informasi
dalam masyarakat. Media sosial menjadi kekuatan sangat luar biasa dapat
menciptakan kegaduhan, karena berbagai berita palsu yang dipublikasikan oleh
orang yang tidak bertanggung jawab. Media sosial awalnya diciptakan untuk
dimanfaatkan sebagai ajang bersosialisasi, berinteraksi, dan menyebarkan virus
positif. Namun, akhir-akhir ini kita ditontonkan dengan berbagai konten negatif
yang banyak menghiasi ruang dunia maya, yang jika dibiarkan tentu dan dapat memecah
belah bangsa dan dapat membahayakan generasi milenium (generasi muda)
khususnya pelajar.
Berita hoaks ‘mewabah’ dan sering kita temukan di media sosial,
misalnya Facebook, Instagram, Twitter, blog, pesan
berantai melalui SMS, BBM, Whatsapp, email, dan
lain-lain. Akhir-akhir ini berita hoaks juga menjadi isu hangat yang banyak
diperbincangkan publik di berbagai forum dan diskusi karena sifat dari berita tersebut
yang sangat meresahkan publik. Berita hoaks dibuat oknum tidak bertanggung
jawab berisi informasi yang seolah-olah benar padahal tidak benar. Tujuannya
adalah agar kita sebagai orang awam percaya akan hal tersebut sehingga
menimbulkan keresahan dan menciptakan permusuhan di masyarakat.
Di dunia pendidikan khususnya pelajar sebagai generasi milenium (milenial) tak
jarang menjadi korban berita hoaks, misalnya tawuran antarpelajar yang dipicu
berita palsu yang pernah terjadi di Kabupaten Klaten pada kelulusan SMA dan SMK
tahun 2017 lalu yang sampai membuat Mendikbud geram. Pada saat itu diberitakan
ada 17 pelajar yang meninggal dan ratusan korban. Ternyata setelah
diklarifikasi berita tersebut tidak benar. Adapun konvoi kelulusan pelajar SMA
dan SMK memang berlangsung rusuh tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Atau berita mengenai ratusan pelajar SMP yang nyaris melakukan penyerangan
terhadap salah satu sekolah yang ada di Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten
Indramayu juga dipicu gara-gara berita hoaks di media sosial pada bulan Maret
lalu.
Seorang guru wajib mengedukasi mengenai cara memotong penyebaran berita
hoaks dengan memberikan tips atau cara mengidentifikasi hoaks. Sebelum
menyebarkan berita hendaknya siswa diminta berpikir kritis dengan tidak mudah
percaya, tetapi menggunakan logika sehat untuk menggali lebih dalam untuk
memastikan kebenaran berita tersebut. Ada beberapa saran yang direkomendasikan
oleh Facebook mengenai cara jitu yang bisa dilakukan untuk
mengidentifikasi berita hoaks, di antaranya berkaitan dengan verifikasi sumber
berita, judul berita, elemen berita, dan laporan lain. Penjelasannya sebagai
berikut.
Verifikasi sumber berita. Hoaks biasanya
menggunakan alamat tautan (URL) yang mirip dengan alamat sumber berita populer.
Pastikan situs berasal dari sumber berita yang populer. Apabila berasal dari
domain blog bukan website, maka kita perlu waspada. Lihat atau
cek juga akurasi profil penulisnya untuk menelusuri informasi secara mendalam.
Selanjutnya, kita bandingkan isinya dengan situs berita yang lain dengan
mencarinya di Google, biasanya artikel atau berita terkait akan muncul.
Berita hoaks tak jarang hanya berasal dari sumber opini seseorang.
Judul berita. Judul berita hoaks biasanya
provokatif dan menggugah emosi pembaca secara berlebihan yang dapat menimbulkan
perdebatan di masyarakat. Kita boleh berpikir skeptis atau tidak mudah percaya
apabila judul berita menggunakan kata-kata catchy atau yang mewah dan
menimbulkan perhatian. Selain itu, judul berita yang menggunakan kata yang
bernada seru dan menggunakan huruf kapital juga memungkinkan berita tersebut terindikasi
hoaks.
Elemen berita. Isi berita selain berisi
kalimat-kalimat yang provokatif juga biasanya berisi kalimat yang janggal yang
bernada persuasif, misalnya “Sebarkan!”, “Viralkan!”, “Lawan!” dan sejenisnya
yang mengajak kita bersama-sama untuk menyebarkan konten tersebut. Kita juga
harus mengidentifikasi kelengkapan isi berita terkait 5W+1H, khususnya kapan (when) berita itu
terjadi. Biasanya berita hoaks tidak merujuk kepada waktu yang jelas, bahkan
tidak ada waktunya, atau mengganti informasi waktu mereka.
Identifikasi laporan lain. Ciri hoaks yang
lain adalah mengidentifikasi laporan atau komentar orang lain. Jika berita itu
bersumber dari media sosial, lihatlah kolom komentar, apakah banyak warganet (netizen)
yang menanggapi dengan nada yang tidak sedap atau membenarkan berita tersebut.
Apabila berita tersebut juga dibagikan atau dikomentari oleh orang terpercaya
juga kemungkinan berita tersebut benar. Cobalah untuk kritis terhadap yang kita
baca dengan tidak mudah percaya dan mudah menyebarkan berita.
Dampak
Negatif Hoax
Telepon pintar (smartphone) yang awalnya digunakan untuk
membantu meringankan pekerjaan manusia dapat memberikan dampak buruk, misalnya
berujung pidana. Pada era digital seperti sekarang ini penggunaan teknologi gawai
(gadget) bagi para pelajar atau generasi milenium adalah sah-sah saja.
Perlu diketahui, membagikan berita bohong (hoaks) selain memberikan dampak
hukum kepada pelakunya, juga dampak sosial yaitu nama baik akan menjadi
taruhannya.
Sebagai pengajar, edukasi kepada pelajar perlu digiatkan untuk menolak
dengan tidak memproduksi dan membagikan berita hoaks yang berisi berita fitnah
dan ujaran kebencian. Karena bagaimana pun juga berita hoaks dapat menimbulkan
perdebatan. Sebagai pengajar berilah edukasi kepada siswa untuk menjadi
produsen berita positif. Selain itu, lebih jauh lagi berita yang tidak jelas
dapat memecah belah kebinekaan yang dapat kita lihat akhir-akhir ini. Hoaks
dapat diawali dari saling curiga dan balas dendam. Guru hendaknya menanamkan
sikap positif agar budaya asal copy paste dan mudah membagikan tidak
mereka lakukan.
Perlu diketahui bersama, Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Pol
Rikwanto, pernah menyatakan bahwa sebagai konsekuensi kepolisian akan menindak
secara tegas siapa pun yang membuat dan menyebarkan berita bohong (hoaks).
Pelakunya akan diancam dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam pasal UU ITE disebutkan bahwa, setiap
orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan, ancamannya adalah terkena pidana maksimal enam tahun dan denda
maksimal satu miliar rupiah. Masyarakat hendaknya mengidentifikasi terlebih
dahulu setiap informasi yang masih belum jelas kebenarannya.
Cara
Mengedukasi Siswa Perangi Hoax
Mendidik generasi milenium untuk antihoax dapat diterapkan dari
mulai jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Hal tersebut bertujuan
agar sejak dini pelajar dapat memanfaatkan telepon pintar mereka dengan arif
dan bijaksana dalam bermedia sosial. Guru mengimbau kepada para generasi
milenial agar tidak mudah percaya dengan kabar yang tidak jelas sumbernya dan
tidak gegabah membagikannya.
Guru sebagai pendidik hendaknya membentuk sikap atau mental kritis
terhadap informasi viral atau yang sedang hangat dibicarakan dan berhati-hati
dalam menggunakan media sosial. Guru dapat menggunakan cara-cara yang kreatif
dan kekinian dengan meninggalkan pendekatan atau metode mengajar lama yang
sudah tidak cocok digunakan generasi milenium saat ini. Guru saat ini belum
sepenuhnya mencerminkan hal tersebut, guru lebih suka pembelajaran dengan
menggunakan metode konvensional.
Dalam pembelajaran di kelas, mengedukasi siswa dalam memerangi hoaks
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, membudayakan gerakan literasi
dengan mengunjungi dan membaca di perpustakaan sekolah. Penulis sebagai guru
Bahasa Indonesia, juga menyisipkan pembelajaran antihoax saat
mengajarkan materi membedakan antara fakta dan opini, siswa diminta
mengidentifikasi berbagai kalimat fakta dan opini dari berita. Selain itu,
dalam pembelajaran menulis berita juga diajarkan agar siswa terampil dalam
menulis berita yang positif, misalnya prestasi anak bangsa, potensi pariwisata
daerah, dan lain-lain, sehingga mengurangi produksi berita yang tidak faktual.
Berbagai bentuk kepedulian guru kepada siswanya bisa dilakukan untuk
memerangi dan membentengi diri dari berita hoaks. Guru perlu memberikan
pengertian kepada siswa agar tidak cepat percaya apabila ada informasi yang
masih menjadi opini di masyarakat. Siswa setidaknya dapat membentengi diri
sendiri agar tidak mudah percaya dan tidak mudah menyebarkan berita yang belum
pasti kebenarannya atau yang masih bersifat opini.
Guru hendaknya selalu mengajak generasi milenium tersebut untuk
memerangi berita yang menyesatkan karena dapat memecah belah persatuan,
kebinekaan, dan kemajemukan Bangsa Indonesia. Mengajak siswa untuk memerangi
berita hoaks juga sudah sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda yang dicetuskan
para pemuda sekitar 89 tahun yang lalu. Pelajar minimal bisa menjadi pahlawan
bagi diri mereka sendiri untuk memerangi berbagai situs dan konten negatif
media sosial, karena tugas memerangi hoaks bukan sekadar tugas dari pemerintah
tetapi kita semua. Guru diminta memberikan pemahaman dan kesadaran kepada para
siswa yang tiap hari bermain gawai untuk menggunakan internet secara sehat.
Pelajar dapat memanfaatkan media sosial
untuk menyebarkan nilai-nilai positif kehidupan. Dalam hal ini, dibutuhkan
komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memerangi hoaks.
Ketika
Mendapatkan Berita Hoax
Penyebaran berita palsu marak terjadi di media sosial akhir-akhir ini.
Misalnya, penulis pernah mendapati berita di media sosial Facebook
terkait video rekaman mengenai oknum guru di SMP Negeri 10 Pangkalpinang,
Bangka Belitung yang menganiaya siswanya di kelas yang direkam dan
dipublikasikan dengan versi berbagai judul, yang jelas sangat membuat penulis resah.
Setelah dicari kebenarannya ternyata Kemdikbud memastikan video pemukulan
terhadap siswa oleh guru di sekolah adalah hoaks, karena kejadiannya tidak
terjadi di sekolah tersebut (jawapos.com, 6/11/2017).
Dengan adanya video yang dipublikasikan tersebut, masyarakat seolah
kembali geram dengan sikap guru yang seharusnya digugu dan ditiru.
Padahal pelakunya bukan atau belum tentu seorang guru, bisa saja orang lain
yang masuk ke ruang kelas. Maka dari itu, perlu dikaji secara saksama video
tersebut dengan mengecek keaslian dan kebenaran cerita sehingga tidak muncul
fitnah dan kecaman terhadap profesi guru.
Kejadian lain yang penulis dapati adalah terkait isu fakta atau hoaks
adalah mengenai registrasi sim card pelanggan seluler prabayar. Beredar
info di media sosial jika registrasi ulang terkait dengan pencurian data pemilu
karena memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Setelah ada penjelasan dari Kominfo, justru registrasi ulang sim card
lama dan registrasi baru dengan NIK dan Nomor KK adalah upaya untuk memerangi hoaks.
Hal ini akan sangat membantu pihak kepolisian apabila terjadi kasus penipuan
atau penghinaan yang dilakukan oleh nomor seluler tersebut (news.detik.com,
30/10/2017). Sebagai konsumen yang baik dan cerdas, sudah seharusnya kita
mencari tahu kebenaran fakta, bukan malah melakukan tindakan sebaliknya.
Saat melihat dan membaca berita-berita tersebut di Facebook dan
media sosial lain, penulis tidak serta merta membagikan tetapi membaca dulu
komentar-komentar dari berbagai pihak dan mencari sumber berita lain, misalnya sumber
berita dari website pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menghindari
publikasi berita hoaks. Setelah ada berita mengenai konfirmasi dari pihak
berwajib ternyata kedua berita tersebut hoaks.
Sebagai seorang yang terpelajar kita terlebih dahulu harus
mengonfirmasi berita yang didapatkan yang akan disampaikan kepada orang lain.
Guru dapat menjelaskan dampak buruk berita hoaks dalam pembelajaran di kelas
atau dengan mengadakan kegaiatan gerakan antihoax di lingkungan sekolah.
Menumbuhkan kesadaran bersama agar tidak membuat dan menyebarkan berita hoaks.
Kegiatan memerangi berita palsu secara tidak langsung dapat menumbuhkembangkan
nilai kejujuran.
Hendaknya penyedia layanan hendaknya memerangi akun-akun palsu yang
gemar memublikasikan berita hoaks dengan membanned postingan atau
memblokir akun tersebut. Jelaslah, hoaks memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat.
Kita harus selektif yaitu memilih mana yang benar dan tidak dalam membaca dan
membagikan (share) berita, karena berita palsu menjadi ancaman yang
serius bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selamat
Hari Guru Nasional.
#antihoax
#marimas #pgrijateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar