Wartawan Segigih Jozeph Pulitzer?
Tahu siapa Joseph Pulitzer? Menurut saya, setiap wartawan semestinya tahu –atau minimal pernah baca sekilas—tentang tokoh satu ini. Semoga Anda termotivasi menjadi wartawan yang baik dari kisah wartawan yang namanya diabadikan sebagai nama penghargaan paling bergengsi di AS itu: Pulitzer Prizes.
Wartawan Magang
Joseph Pulitzer baru berusia 21 tahun ketika dia menjadi wartawan magang di koran berbahasa Jerman, Westliche Post,
terbit di St. Louis, AS. Ini kisah tentang ujian di hari pertama ia
bekerja. Oleh redakturnya, suatu pagi Pulitzer diperintahkan meliput
berita pencurian di sebuah toko buku.
Kepada Pulitzer, redaktur itu berpesan agar menemui Peters
untuk meminta cerita menarik tentang pencurian itu. Kata sang redaktur,
jangan mencari cerita sendiri karena Pulitzer tak bakal bisa. Di St.
Louis kala itu (1866), berita dari polisi untuk para wartawan hanya
disebar lewat seorang koordinator wartawan. Ya, si Peters itulah
orangnya. Maka….
Pulitzer langsung
meluncur ke TKP (tempat kejadian perkara). Setelah susah payah
menemukan Peters, Pulitzer –di antara banyak wartawan lain– hanya
mendapat jawaban, “Tak banyak informasi yang kita peroleh pagi ini”.
Kata Peters, perampokan terjadi dini hari sebelum pemiliknya membuka
toko buku itu. Uang 175 dolar lenyap dari brangkas. Pemiliknya
mencurigai seseorang yang hilir mudik di depan toko buku itu pada malam
sebelumnya. Peters menyebutkan ciri-ciri orang yang juga dicurigai oleh
polisi itu. Hanya itu.
Pulitzer Bingung….
Mendapat informasi itu, Pulitzer bingung. Lalu, sementara wartawan lain pulang, dia menemui Peters dan bertanya, “Mengapa polisi mencurigai orang yang hilir mudik itu?” Eh, Peters malah tidak tahu. Dia meminta Pulitzer bertanya langsung ke polisi. Tetapi si polisi membentak Pulitzer. Dia diusir saat menerobos masuk toko buku yang kecurian itu untuk menanyai polisi. Selain membentak, polisi itu juga pelit informasi.
Mendapat informasi itu, Pulitzer bingung. Lalu, sementara wartawan lain pulang, dia menemui Peters dan bertanya, “Mengapa polisi mencurigai orang yang hilir mudik itu?” Eh, Peters malah tidak tahu. Dia meminta Pulitzer bertanya langsung ke polisi. Tetapi si polisi membentak Pulitzer. Dia diusir saat menerobos masuk toko buku yang kecurian itu untuk menanyai polisi. Selain membentak, polisi itu juga pelit informasi.
Untung, sang pemilik
toko yang kenal Pulitzer datang dan membujuk polisi dengan mengatakan
bahwa itu hari pertama Pulitzer menjadi wartawan. Jadi, Pak Polisi,
tolong beri Pulitzer kesempatan. Pulitzer lalu menanyakan waktu
kejadian. Maka dia mendapatkan informasi bahwa toko itu dibobol sekitar
pukul 6 pagi. Pukul 5 ada satpam yang melihat gembok pintu itu masih bagus. Pukul 7 pemilik toko buku datang dan melihat gemboknya sudah dirusak.
Pulitzer yang mengenal
dengan baik toko buku itu lalu mengatakan bahwa yang membuka pintu
semestinya adalah John, pembantu di toko buku itu. “Apakah Pak Polisi
sudah menanyai John?” tanya Pulitzer. Si polisi kaget dan bertanya ke
pemilik toko buku mengapa tadi tidak mengatakan dia punya pembantu.
“Saya kira tidak penting. Lagi pula, dia sedang sakit,” jawab pemilik toko. Sudah dua hari John minta izin karena kurang sehat.
Pemilik toko juga
mengakui bahwa John mengetahui kode kunci brankas. “Dia merangkap
kasir…, jujur,” katanya lagi. Polisi langsung memastikan bahwa
pencurinnya adalah John. Polisi itu memperkirakan bahwa John sudah lari
dengan naik kereta api. “Besok akan saya tangkap dia,” katanya.
Cabut ke Stasiun
Tanpa menunggu keterangan polisi sampai selesai, Pulitzer sudah cabut ke stasiun kereta api. Dia bertanya ke orang-orang di stasiun apakah melihat John. Dia menggambarkan ciri-cirinya ke orang-orang itu. Beberapa orang mengaku melihatnya. Pulitzer kembali ke kantor Westliche Post dan menuliskan hasil liputannnya.
Diejek Teman Sekantor
Besoknya, kopi pahit untuk Pulitzer. Ia dimarahi habis-habisan oleh redakturnya. “Koran kita diketawain orang. Berita yang kamu buat beda dengan koran-koran lain. Semua mengatakan pencurinya….” Sang redaktur menyebutkan ciri-ciri yang disampaikan Peters. “Eh, kamu (malah) nulis yang lain. Tahu nggak, ini bisa mengacaukan pekerjaan polisi. Merusak reputasi koran kita….”
Cabut ke Stasiun
Tanpa menunggu keterangan polisi sampai selesai, Pulitzer sudah cabut ke stasiun kereta api. Dia bertanya ke orang-orang di stasiun apakah melihat John. Dia menggambarkan ciri-cirinya ke orang-orang itu. Beberapa orang mengaku melihatnya. Pulitzer kembali ke kantor Westliche Post dan menuliskan hasil liputannnya.
Diejek Teman Sekantor
Besoknya, kopi pahit untuk Pulitzer. Ia dimarahi habis-habisan oleh redakturnya. “Koran kita diketawain orang. Berita yang kamu buat beda dengan koran-koran lain. Semua mengatakan pencurinya….” Sang redaktur menyebutkan ciri-ciri yang disampaikan Peters. “Eh, kamu (malah) nulis yang lain. Tahu nggak, ini bisa mengacaukan pekerjaan polisi. Merusak reputasi koran kita….”
Pulitzer terdiam. Ia
pun diadukan ke atasan. Lagi-lagi dia kena marah. Sang atasan lalu
meminta Pulitzer menceritakan peristiwa dia meliput. Sementara dia
bercerita, seseorang menyela dari arah pintu. Katanya, ada kabar dari
pemilik toko buku bahwa pencurinya sudah ditangkap. “Pencurinnya, ya,
si John, seperti yang ditulis di koran kita. Saya kira besok Westliche bisa memuat cerita bagaimana wartawan kita membantu polisi menangkap pencuri.”
Pulitzer berhasil mendapat tulisan eksklusif karena ia kritis, memiliki inisiatif dan gigih. Ia memiliki curiosity
(rasa ingin tahu) yang kuat, modal dasar wartawan. Ia menemukan
peristiwa yang tidak ditemukan wartawan lain. Bahkan, ia juga
“menemukan” pelaku kejahatan dalam kasus pencurian di toko buku itu.
Ingat, Pulitzer melakukan itu pada 1866, jauh sebelum pulpen seperti
sekarang ini –apatah lagi internet— dikenal orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar