SELAMAT DATANG DI BLOG ARDI SETIA

Minggu, 08 September 2013

Kritik Sastra: Kritik Ekspresif dalam Novel Saman Karya Ayu Utami


KRITIK EKSPRESIF
DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
Ditulis untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Kritik Sastra
Dosen Pengampu : Dra. Ambarini Asriningsari, M.Hum.








Oleh:
ARDI SETIYAWAN
NPM 10410022
Kelas 5A



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2012

 

KRITIK EKSPRESIF DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R.
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel SAMAN, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter.
Tulisan Ayu banyak mengenai kehidupan sehari-hari yang sederhana, tetapi menekankan aspek keadilan dan hak-hak sipil. Seperti yang tercermin dalam novel Saman. Novel ini pertama kali terbit April 1998, oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah tersebut pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.
Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Sesungguhnya, persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.” (Ayu Utami, 1998:42)
Novel Saman dikemas oleh pengarang sangat serius tapi santai, bercerita tentang bagaimana penindasan orang yang tinggal di Perabumulih. Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya. Dalam novel tersebut, usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun.
Melalui tokoh Saman pengarang ingin mengkritik pemerintahan Orde Baru yang sewenang-wenang terhadap rakyat, 
Selengkapnya download FILE di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Printfriendly