Pembaca yang
mulia, kita sering mendengar seorang pembawa acara atau pengatur
acara yang dalam bahasa asing disebut master of ceremony (bukan pengacara) mengucapkan kalimat
sebagai berikut.
(1) Para tamu dimohon masuk ke dalam ruangan pertemuan karena acara segera akan dimulai.
(2) Para juara dimohon dapat maju ke depan untuk menerima hadiah dan sertifikat dari Panitia Penyelenggara.
(3) Silakan Hadirin mundur ke belakang karena hiburan akan segera dimulai.
(4) Kami mohon Bapak. Haji Abdul Hadi naik ke atas panggung untuk menyerahkan piala kepada Siswa SD Teladan Kalimantan Timur 2004.
(5) Penonton dimohon segera turun ke bawah panggung karena acara akan segera ditutup oleh Pak Lurah.
Pada saat mendengar ungkapan tersebut banyak orang bertanya-tanya. Kemungkinan banyak orang berbisik-bisik dengan teman sebelah dan saling bertanya: mengapa tidak memakai kata masuk ruangan pertemuan, maju menerima hadiah, mundur, naik panggung, dan turun panggung saja? Mengapa harus memakai kata masuk ke dalam ruangan, maju ke depan, mundur ke belakang, naik ke atas, dan turun ke bawah? Bukankah kata masuk berarti ke dalam, kata maju pasti ke depan, kata mundur pastilah bergerak ke belakang, kata naik tentulah berarti ke atas, dan kata turun pasti bergerak ke bawah? Mengapa harus dinyatakan kedua-duanya sehingga diucapkan masuk ke dalam, maju ke depan, mundur ke belakang, naik ke atas, dan turun ke bawah? Apaklah pemakaian bahasa semacam itu dapat dibenarkan atau justru menunjukkan pemakaian ungkapan atau bahasa yang tidak benar?
Pembaca yang arif,
pemakaian kata-kata itu tidak dapat dinayatakan sebagai pemakaian yang salah.
Akan tetapi, jika asas efisiensi dalam berbahasa menjadi pertimbangan utama,
pemakaian seperti itu perlu dihindari oleh orang-orang cendikia. Sekali lagi,
pemakaian semacam itu tidak dapat dinyatakan sebagai pemakaian bahasa yang
salah, tetapi dapat dihindari demi efisiensi berbahasa. Memang masyarakat
pemakai bahasa Indonesia gemar memakai bentuk-bentuk ungkapan yang menyetakan
berlebihan, disebut gaya
bahasa superlati, seperti itu. Sebagai contoh lain, tidak jarang
seseorang memakai kata agar supaya, hancur remuk, hancur lebur,
malang-melintang, hiruk pikuk, letih lesu, kurus kering, pucat pasi,
lemah lembut, tarik ulur, dan sebagainya. Bukankah kata agar artinya
sama dengan supaya; kata hancur sama artinya dengan lebur
atau remuk; kata malang
sama artinya dengan kata melintang, hiruk sama artinya dengan pikuk,
kata letih sama artinya dengan lesu? Akan tetapi, pemakaian
ungkapan bergaya superlatif tersebut bukanlah tanpa makna. Pemakaian dua kata
yang memiliki makna yang sama tersebut sebagai bentuk penyangatan. Jadi,
pembicara atau penutur merasa berkepentingan dalam menggambarkan situasi
tersebut untuk menarik perhatian. Akan tetapi, apakah pembawa acara memahami
ungkapan kata masuk ke dalam, maju ke depan, mundur ke belakang, naik ke
atas, dan turun ke bawah itu untuk menyangatkan? Tampaknya, pembawa acara tidak menyadari hal itu
sehingga ungkapan tersebut lahir dari sebuah kebiasaan atau kelaziman saja.
Dalam berbahasa, kelaziman-kelaziman seperti di atas telah lama hadir di
tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menganggap
ungkapan seperti itu dapat diterima dan pembaca acara tanpa merasa canggung
dalam mengucapkannya. Akan tetapi, perjalanan waktulah yang akan menentukan
apakah ungkapan yang bernada berlebihan itu akan berkembang menjadi pilihan
umum ataukan akan mengalami perubahan yang mengarah pada pemakaian bahasa yang lebih efisien? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar